Friday, May 3, 2013
Islamimisasi IPTEK
Sains adalah sarana pemecahan masalah mendasar setiap peradaban. Ia adalah ungkapan fisik dari world view di mana dia dilahirkan. Maka kita bisa memahami mengapa di Jepang yang kabarnya sangat menghargai nilai waktu demikian pesat berkembang budaya “pachinko” dan game. Tentu disebabkan mereka tak beriman akan kehidupan setelah mati, dan tak mempunyai batasan tentang hiburan.
Kini ummat Islam hanya sebagai konsumen sains yang ada sekarang. Kalaupun mereka ikut berperan di dalamnya, maka – secara umum — mereka tetap di bawah kendali pencetus sains tersebut. Ilmuwan-ilmuwan muslim masih sulit menghasilkan teknologi-teknologi eksak — apalagi non-eksak — untuk menopang kepentingan khusus ummat Islam.
Dunia Islam mulai bangkit (kembali) memikirkan kedudukan sains dalam Islam pada dekade 70-an. Pada 1976 dilangsungkan seminar internasional pendidikan Islam di Jedah. Dan semakin ramai diseminarkan di tahun 80-an.
Secara umum, dikenal 4 kategori pendekatan sains Islam:
1. I’jazul Qur’an (mukjizat al-Qur’an).
I’jazul Qur’an dipelopori Maurice Bucaille yang sempat “boom” dengan bukunya “La Bible, le Coran et la Science” (edisi Indonesia: “Bibel, Qur’an dan Sains Modern“).
Pendekatannya adalah mencari kesesuaian penemuan ilmiah dengan ayat Qur’an. Hal ini kemudian banyak dikritik, lantaran penemuan ilmiah tidak dapat dijamin tidak akan mengalami perubahan di masa depan. Menganggap Qur’an sesuai dengan sesuatu yang masih bisa berubah berarti menganggap Qur’an juga bisa berubah.
2. Islamization Disciplines.
Yakni membandingkan sains modern dan khazanah Islam, untuk kemudian melahirkan text-book orisinil dari ilmuwan muslim. Penggagas utamanya Ismail Raji al-Faruqi, dalam bukunya yang terkenal, Islamization of Knowledge, 1982. Ide Al-Faruqi ini mendapat dukungan yang besar sekali dan dialah yang mendorong pendirian International Institute of Islamic Thought (IIIT) di Washington (1981), yang merupakan lembaga yang aktif menggulirkan program seputar Islamisasi pengetahuan.
Rencana Islamisasi pengetahuan al-Faruqi bertujuan:
1. Penguasaan disiplin ilmu modern.
2. Penguaasaan warisan Islam.
3. Penentuan relevansi khusus Islam bagi setiap bidang pengetahuan modern.
4. Pencarian cara-cara untuk menciptakan perpaduan kreatif antara warisan Islam dan pengetahuan modern (melalui survey masalah umat Islam dan umat manusia seluruhnya).
5. Pengarahan pemikiran Islam ke jalan yang menuntunnya menuju pemenuhan pola Ilahiyah dari Allah.
6. Realisasi praktis islamisasi pengetahuan melalui: penulisan kembali disiplin ilmu modern ke dalam kerangka Islam dan menyebarkan pengetahuan Islam.
3 Membangun sains pada pemerintahan Islami.
Ide ini terutama pada proses pemanfaatan sains. “Dalam lingkungan Islam pastilah sains tunduk pada tujuan mulia.” Ilmuwan Pakistan, Z.A. Hasymi, memasukkan Abdus Salam dan Habibie pada kelompok ini.
4. Menggali epistimologi1 sains Islam (murni).
Epistimologi sains Islam murni digali dari pandangan dunia dunia Islam, dan dari sinilah dibangun teknologi dan peradaban Islam. Dipelopori oleh Ziauddin Sardar, dalam bukunya: “Islamic Futures: “The Shape of Ideas to Come”” (1985), edisi Indonesia: “Masa Depan Islam”, Pustaka, 1987).
Sardar mengkritik ide Al-Faruqi dengan pemikiran:
1. Karena sains dan teknologilah yang menjaga struktur sosial, ekonomi dan politik yang menguasai dunia.
2. Tidak ada kegiatan manusia yang dibagi-bagi dalam kotak-kotak: “psikologi”, “sosiologi”, dan ilmu politik.
3. Menerima bagian-bagian disipliner pengetahuan yang dilahirkan dari epistimologi Barat berarti menganggap pandangan dunia Islam lebih rendah daripada peradaban Barat. 1Epistimologi: teori pengetahuan, titik dari setiap pandangan dunia. Pokok pertanyaannya: “Apa yang dapat diketahui dan bagaimana kita mengetahuinya.
Penemuan kembali sifat dan gaya sains Islam di zaman sekarang merupakan salah satu tantangan paling menarik dan penting, karena kemunculan peradaban muslim yang mandiri di masa akan datang tergantung pada cara masyarakat muslim masa kini menangani hal ini.
Dalam seminar tentang “Pengetahuan dan Nilai-Nilai” di Stocholm, 1981, dengan bantuan International Federation of Institutes of Advance Study (IFIAS), dikemukakan 10 konsep Islam yang diharapkan dapat dipakai dalam meneliti sains modern dalam rangka membentuk cita-cita Muslim. Kesepuluh konsep ini adalah:
Paradigma Dasar:
(1) tauhid — meyakini hanya ada 1 Tuhan, dan kebenaran itu dari-Nya.
(2) khilafah — kami berada di bumi sebagai wakil Allah — segalanya sesuai keinginan-Nya.
(3)`ibadah (pemujaan) — keseluruhan hidup manusia harus selaras dengan ridha Allah, tidak serupa kaum Syu’aib yang memelopori akar sekularisme: “Apa hubungan sholat dan berat timbangan (dalam dagang)”.
Sarana:
(4) `ilm — tidak menghentikan pencarian ilmu untuk hal-hal yang bersifat material, tapi juga metafisme, semisal diuraikan Yusuf Qardhawi dalam “Sunnah dan Ilmu Pengetahuan”.
Penuntun:
(5) halal (diizinkan).
(6)`adl (keadilan) — semua sains bisa berpijak pada nilai ini: janganlah kebenciankamu terhadap suatu kaum membuat-mu berlaku tidak adil. (Q.S. Al-Maidah 5 : 8). Keadilan yang menebarkan rahmatan lil alamin, termasuk kepada hewan, misalnya: menajamkan pisau sembelihan.
(7) istishlah (kepentingan umum).
Pembatas:
(8) haram (dilarang).
(9) zhulm (melampaui batas).
(10) dziya’ (pemborosan) — “Janganlah boros, meskipun berwudhu dengan air laut”.
Dalam membangun dan mengejar perbaikan iptek dunia Islam, Sardar mengajukan 2 pemikiran dasar:
1. Menganalisa kebutuhan sosial masyarakat muslim sendiri, dan dari sinilah dirancang teknologi yang sesuai.
2. Teknologi ini dikembangkan dalam kerangka pandangan-dunia muslim.
Kenyataannya, sangat tidak mudah bekerja di luar paradigma yang dominan, lantaran kita masih terikat dan terdikte dengan disiplin-disiplin ilmu yang dicetuskan dari, oleh dan untuk Barat.
Namun paling tidak ada dua agenda praktis yang dapat dijadikan landasan: jangka pendek: membekali ilmuwan Islam dengan syakhshiyah Islamiyah, dan jangka panjang: perumusan kurikulum pendidikan Islam yang holistik.
Program perumusan kurikulum pendidikan Islam ini sudah mulai terlihat bentuknya di Indonesia, dengan lahirnya banyak sekolah sekolah Islam. Secara umum garis besarnya berlandaskan: SD: habitual; SMP: habitual dengan konsep; SMU: habitual dengan konsep dan ideologi. Diharapkan, anak anak yang dididik di sini, pada saat memasuki universitas, sudah siap bertarung secara ideologi.
Peran Perguruan Tinggi Dalam Meningkatkan Keberadaban Islam
Islam merupakan agama yang punya perhatian besar kepada ilmu pengetahuan. Islam sangat menekankan umatnya untuk terus menuntut ilmu. Dalam surat Ar-Rahman, Allah menjelaskan bahwa diri-Nya adalah pengajar (‘Allamahu al-Bayan) bagi umat Islam. Dalam agama-agama lain selain Islam kita tidak akan menemukan bahwa wahyu pertama yang diturunkan adalah perintah untuk belajar. Kita tahu bahwa ayat pertama yang diturunkan adalah Surat Al-‘Alaq yang memerintahan kita untuk membaca dan belajar. Allah mengajarkan kita dengan qalam – yang sering kita artikan dengan pena. Akan tetapi sebenarnya kata qalam juga dapat diartikan sebagai sesuatu yang yang dapat dipergunakan untuk mentransfer ilmu kepada orang lain. Kata Qalam tidak diletakkan dalam pengertian yang sempit. Sehingga pada setiap zaman kata qalam dapat memiliki arti yang lebih banyak. Seperti pada zaman sekarang, komputer dan segala perangkatnya termasuk internet bisa diartikan sebagai penafsiran kata qalam. Dalam surat Al-‘Alaq, Allah Swt memerintahkan kita agar menerangkan ilmu. Setelah itu kewajiban kedua adalah mentransfer ilmu tersebut kepada generasi berikutnya. Dalam hal pendidikan, ada dua kesimpulan yang dapat kita ambil dari firman Allah Swt tersebut; yaitu Pertama, kita belajar dan mendapatkan ilmu yang sebanyak-banyaknya. Kedua, berkenaan dengan penelitian yang dalam ayat tersebut digunakan kata qalam yang dapat kita artikan sebagai alat untuk mencatat dan meneliti yang nantinya akan menjadi warisan kita kepada generasi berikutnya.
Dalam ajaran Islam – baik dalam ayat Qur’an maupun hadits, bahwa ilmu pengetahuan paling tinggi nilainya melebihi hal-hal lain. Bahkan sifat Allah Swt adalah Dia memiliki ilmu yang Maha Mengetahui. Seorang penyair besar Islam mengungkapkan bahwa kekuatan suatu bangsa berada pada ilmu. Saat ini kekuatan tidak bertumpu pada kekuatan fisik dan harta, tetapi kekuatan dalam hal ilmu pengetahuan. Orang yang tinggi di hadapan Allah Swt adalah mereka yang berilmu.
Dalam sebuah hadits, Nabi Muhammad Saw menganjurkan kita untuk menuntut ilmu sampai ke liang lahat. Tidak ada Nabi lain yang begitu besar perhatian dan penekanannya pada kewajiban menuntut ilmu sedetail nabi Muhammad Saw. Maka bukan hal yang asing jika waktu itu kita mendengar bahwa Islam memegang peradaban penting dalam ilmu pengetahuan. Semua cabang ilmu pengetahuan waktu itu didominasi oleh Islam yang dibangun oleh para ilmuwan Islam pada zaman itu yang berawal dari kota Madinah, Spanyol, Cordova dan negara-negara lainnya. Itulah zaman yang kita kenal dengan zaman keemasan Islam, walaupun setelah itu Islam mengalami kemunduran. Di zaman itu, di mana negara-negara di Eropa belum ada yang membangun perguruan tinggi, negara-negara Islam telah banyak membangun pusat-pusat studi pengetahun. Sekarang tugas kita untuk mengembalikan masa kejayaan Islam seperti dulu melalui berbagai lembaga keilmuan yang ada di negara-negara Islam.
Saya cukup apresiatif dengan Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) yang mengintegrasikan antara ilmu pengetahuan umum dan ilmu agama. Hal itu juga yang kami lakukan di negara kami, Iran. Sehingga generasi Islam mendatang pada masa yang sama, mereka ahli dalam ilmu pengatahuan dan ahli dalam bidang agama. Dalam Al-Qur’an sudah dijelaskan bahwa orang yang mulia di sisi Allah hanya karena dua hal; karena imannya dan karena ketinggian ilmunya. Bukan karena jabatan atau hartanya. Karena itu dapat kita ambil kesimpulan bawa ilmu pengetahuan harus disandingkan dengan iman. Tidak bisa dipisahkan antara keduanya. Perpaduan antara ilmu pengetahuan dan iman akan menghasilkan peradaban yang baik yang disebut dengan Al-Madinah al-Fadhilah.
Dalam menuntut ilmu tidak mengenal waktu, dan juga tidak mengenal gender. Pria dan wanita punya kesempatan yang sama untuk menuntut ilmu. Sehingga setiap orang baik pria maupun wanita bisa mengembangkan potensi yang diberikan oleh Allah Swt kepada kita sehingga potensi itu berkembang dan sampai kepada kesempurnaan yang diharapkan. Karena itulah, agama menganggap bahwa menuntut ilmu itu termasuk bagian dari ibadah. Ibadah tidak terbatas kepada masalah shalat, puasa, haji, dan zakat. Bahkan menuntut ilmu itu dianggap sebagai ibadah yang utama, karena dengan ilmulah kita bisa melaksanakan ibadah-ibadah yang lainnya dengan benar. Imam Ja’far As-Shadiq pernah berkata: “Aku sangat senang dan sangat ingin agar orang-orang yang dekat denganku dan mencintaiku, mereka dapat belajar agama, dan supaya ada di atas kepala mereka cambuk yang siap mencambuknya ketika ia bermalas-malasan untuk menuntut ilmu agama”.
Alhamdulillah saya melihat di negara Indonesia kaum pria dan wanita punya kesempatan yang sama dalam menuntut ilmu. Itu semua karena ajaran agama Islam yang menekankan kewajiban menuntut ilmu tanpa mengenal gender. Karena menuntut ilmu sangat bermanfaat dan setiap ilmu pasti bemanfaat. Kalau kita dapati ilmu yang tidak bermanfaat, hal itu karena faktor-faktor lain yang mempengaruhinya. Sedangkan ilmu itu sendiri pasti sesuatu yang bermanfaat.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment