Friday, May 3, 2013
Keselarasan IMTAQ dan IPTEK
“Barang siapa ingin menguasai dunia dengan ilmu, barang siapa ingin menguasai akhirat dengan ilmu, dan barang siapa ingin menguasai kedua-duanya juga harus dengan ilmu” (Al-Hadist).
Perubahan lingkungan yang serba cepat dewasa ini sebagai dampak globalisasi dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), harus diakui telah memberikan kemudahan terhadap berbagai aktifitas dan kebutuhan hidup manusia.
Di sisi lain, memunculkan kekhawatiran terhadap perkembangan perilaku khususnya para pelajar dan generasi muda kita, dengan tumbuhnya budaya kehidupan baru yang cenderung menjauh dari nilai-nilai spiritualitas. Semuanya ini menuntut perhatian ekstra orang tua serta pendidik khususnya guru, yang kerap bersentuhan langsung dengan siswa.
Dari sisi positif, perkembangan iptek telah memunculkan kesadaran yang kuat pada sebagian pelajar kita akan
pentingnya memiliki keahlian dan keterampilan. Utamanya untuk menyongsong kehidupan masa depan yang lebih baik, dalam rangka mengisi era milenium ketiga yang disebut sebagai era informasi dan era bio-teknologi. Ini sekurang-kurangnya telah memunculkan sikap optimis, generasi pelajar kita umumya telah memiliki kesiapan dalam menghadapi perubahan itu.
Don Tapscott, dalam bukunya Growing up Digital (1999), telah melakukan survei terhadap para remaja di berbagai negara. Ia menyimpulkan, ada sepuluh ciri dari generasi 0 (zero), yang akan mengisi masa tersebut. Ciri-ciri itu, para remaja umumnya memiliki pengetahuan memadai dan akses yang tak terbatas. Bergaul sangat intensif lewat internet, cenderung inklusif, bebas berekspresi, hidup didasarkan pada perkembangan teknologi, sehingga inovatif, bersikap lebih dewasa, investigative arahnya pada how use something as good as possible bukan how does it work. Mereka pemikir cepat (fast thinker), peka dan kritis terutama pada informasi palsu, serta cek ricek menjadi keharusan bagi mereka.
Sikap optimis terhadap keadaan sebagian pelajar ini tentu harus diimbangi dengan memberikan pemahaman, arti penting mengembangkan aspek spiritual keagamaan dan aspek pengendalian emosional. Sehingga tercapai keselarasan pemenuhan kebutuhan otak dan hati (kolbu). Penanaman kesadaran pentingnya nilai-nilai agama memberi jaminan kepada siswa akan kebahagiaan dan keselamatan hidup, bukan saja selama di dunia tapi juga kelak di akhirat.
Jika hal itu dilakukan, tidak menutup kemungkinan para siswa akan terhindar dari kemungkinan melakukan perilaku menyimpang, yang justru akan merugikan masa depannya serta memperburuk citra kepelajarannya. Amatilah pesta tahunan pasca ujian nasional, yang kerap dipertontonkan secara vulgar oleh sebagian para pelajar. Itulah salah satu contoh potret buram kondisi sebagian komunitas pelajar kita saat ini.
Untuk itu, komponen penting yang terlibat dalam pembinaan keimanan dan ketakwaan (imtak) serta akhlak siswa di sekolah adalah guru. Kendati faktor lain ikut mempengaruhi, tapi dalam pembinaan siswa harus diakui guru faktor paling dominan. Ia ujung tombak dan garda terdepan, yang memberi pengaruh kuat pada pembentukan karakter siswa.
Kepada guru harapan tercapainya tujuan pendidikan nasional disandarkan. Ini sebagaimana termaktub dalam Pasal 3 Undang-undang No. 20 tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional. Intinya, para pelajar kita disiapkan agar menjadi manusia beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri. Sekaligus jadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.
Tujuan pendidikan sebenarnya mengisyaratkan, proses dan hasil harus mempertimbangkan keseimbangan dan keserasian aspek pengembangan intelektual dan aspek spiritual (rohani), tanpa memisahkan keduanya secara dikhotomis. Namun praktiknya, aspek spiritual seringkali hanya bertumpu pada peran guru agama. Ini dirasakan cukup berat, sehingga pengembangan kedua aspek itu tidak berproses secara simultan.
Upaya melibatkan semua guru mata ajar agar menyisipkan unsur keimanan dan ketakwaan (imtak) pada setiap pokok bahasan yang diajarkan, sesungguhnya telah digagas oleh pihak Departeman Pendidikan Nasional maupun Departemen Agama.
Survei membuktikan, mengintegrasikan unsur ‘imtaq’ pada mata ajar selain pendidikan agama adalah sesuatu yang mungkin. Namun dalam praktiknya, target kurikulum yang menjadi beban setiap guru yang harus tuntas serta pemahaman yang berbeda dalam menyikapi muatan-muatan imtaq yang harus disampaikan, menyebabkan keinginan menyisipkan unsur imtak menjadi terabaikan.
Memang tak ada sanksi apapun jika seorang guru selain guru agama tidak menyisipkan unsur imtaq pada pelajaran yang menjadi tanggung jawabnya. Jujur saja guru umumnya takut salah jika berbicara masalah agama, mereka mencari aman hanya mengajarkan apa yang menjadi tanggung jawabnya.
Sesungguhnya ia bukan sekadar tanggung jawab guru agama, tapi tanggung jawab semuanya. Dalam kacamata Islam, kewajiban menyampaikan kebenaran agama kewajiban setiap muslim yang mengaku beriman kepada Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment